oleh: Mohammad Farid
Hak Anak: Suatu Perspektif Global
ISCA-Asia pernah menyatakan bahwa (diterjemahkan secara bebas), “Dewasa ini, di seluruh dunia, anak-anak mengalami nasib yang lebih buruk dibanding dengan nasib anak-anak pada masa seratus tahun yang lalu.”
Dewasa ini, di seluruh dunia termasuk di Indonesia, anak-anak mengalami situasi;
Ironisnya, di atas nasib malang yang dihadapi anak-anak di seluruh dunia seperti tersebut di atas, ada banyak retorika yang sering dikemukakan mengenai pentingnya kita menjaga, mengasuh dan melindungi anak, baik dari yang bersumber pada inspirasi relijius (misalnya, “anak adalah titipan Tuhan”) atau yang bersumber pada pemikiran sekuler (misalnya, “anak adalah manusia lemah yang berada dalam masa perkembangan dan karenanya membutuhkan perlindungan”), maupun yang bersumber pada semangat inward-looking nationalism (misalnya, “anak adalah aset bangsa”).
Namun sebenarnya ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan mengapa nasib malang dan bencana yang dihadapi oleh anak-anak masih terus berlanjut. Diantaranya, seperti yang telah disampaikan oleh beberapa pemikir hak anak, dapat disarikan sebagai berikut:
Pertama, anak-anak sering menjadi korban diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi, semata-mata hanya karena mereka anak-anak. Kenaifan mereka sering dimanipulasi oleh orang dewasa untuk mendiskriminasi anak-anak. Ketidak-berdayaan mereka menjadi dasar bagi orang dewasa untuk melakukan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak.
Ke dua, masalah anak-anak, pada umumnya dianggap sebagai masalah yang tidak kontroversial, non-politis. Karenanya, masalah anak selalu ditempatkan di luar agenda politik, Pendekatan terhadap masalah anak pada umumnya berhenti sebagai pendekatan moralistik, bercorak tradisional, dan berada didalam batas-batas wilayah domestik. Bukan masalah publik dan di luar jangkauan pendekatan hukum publik.
Konvensi Hak Anak: Upaya Global untuk Melindungi dan Menjamin Hak Anak
Latar belakang sejarah dan perumusan Konvensi Hak Anak, jika dilihat dalam konteks di atas, merupakan suatu upaya kemanusiaan untuk mewujudkan perlindungan dan jaminan nyata atas hak-hak anak. Dengan Konvensi Hak Anak, tidak harus berarti bahwa kondisi dan situasi anak akan berubah dengan sendirinya. Arti strategis Konvensi ini ialah karena ia menempatkan masalah anak kedalam ruang publik.
Konvensi Hak Anak: Perkenalan Singkat
Untuk mengantarkan kepada diskusi yang efektif mengenai pengalaman Konvensi Hak Anak di Indonesia, kiranya perlu dipaparkan secara ringkas beberapa hal menyangkut Konvensi tersebut, sebagai berikut.
Klarifikasi beberapa istilah:
Konvensi: Sama dengan “kovenan”, adalah pakta (treaty) atau perjanjian diantara beberapa negara. Karena pakta bersifat mengikat (diantara beberapa negara) secara yuridis, pakta dirujuk juga sebagai hukum internasional. Instrumen internasional: Merujuk pada “pakta” dan “deklarasi”, dokumen lain yang tidak mengikat secara yuridis namun mempunyai daya ikat moral (karena itu “deklarasi” sering dirujuk sebagai norma internasional). Ratifikasi: Pernyataan resmi dari suatu negara yang menunjukkan kesepakatannya terhadap suatu konvensi. Negara yang meratifikasi konvensi disebut sebagai Negara Peserta. Reservasi: Penolakan terhadap satu atau lebih ketentuan yang ada pada suatu konvensi, dilakukan oleh Negara ketika ia meratifikasi suatu konvensi. |
20 November 1989 Konvensi Hak Anak, setelah dipersiapkan selama sepuluh tahun, akhirnya diterima dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB.
2 September 1989 Sesuai ketentuan pasal 49 (ayat 1), KHA diberlakukan sebagai hukum internasional.
5 Oktober 1989 Sesuai pasal 49 (ayat 2), KHA berlaku di Indonesia.
Hak anak dalam konteks hak asasi manusia.
Hak anak adalah bagian integral dari hak asasi manusia, dan Konvensi Hak Anak merupakan bagian integral dari instrumen internasional di bidang HAM.
Walaupun KHA merupakan bagian dari instrumen HAM internasional, KHA mempunyai beberapa kekhususan, diantaranya ialah:
Memahami karakter khusus pakta di bidang HAM
Seperti pakta-pakta lainnya, pakta HAM pada dasarnya merupakan suatu “perjanjian” yang menimbulkan “hak” dan “kewajiban” sebagai konsekuensinya. Kekhususan pakta di bidang HAM ialah bahwa negara-negara (yang meratifikasi pakta) saling berjanji diantara satu-sama-lain untuk memberikan hak kepada semua manusia yang berada didalam wilayah yurisdiksi mereka.
Konsep dasar yang melandasi hukum internasional di bidang HAM ialah bahwa manusia dianggap mempunyai hak-hak tertentu yang bersifat inheren dan universal (karena itu maka disebut ‘hak asasi’). Sedang negara, berkewajiban untuk mengakui dan memenuhi atau menjamin pemenuhan hak-hak asasi manusia yang berada di dalam wilayahnya. Dalam paradigma hukum HAM, fokusnya adalah hubungan antara manusia dengan negara, dimana manusia mempunyai hak dan negara memegang kewajiban.
Konsep ini berbeda, misalnya, dengan konsep yang melandasi hukum perdata seperti yang kita kenal sehari-hari, dimana pihak-pihak yang bersepakat masing-masing mempunyai hak dan kewajiban secara resiprokal.
Dalam hal KHA, anak (individu yang berumur di bawah 18 tahun) dianggap dan diakui mempunyai hak-hak asasi, sedang Negara berkewajiban memenuhi dan menjamin pemenuhan hak-hak asasi anak sebagaimana diakui atau dirumuskan didalam konvensi. (Dalam hubungan anak dengan orangtua/keluarga sebagaimana disinggung sebelumnya, orangtua atau keluarga bertanggungjawab memenuhi hak-hak anak).
Sukarela: sifat dasar Ratifikasi pakta HAM.
Walaupun konvensi bersifat mengikat secara yuridis, namun menyepakati suatu pakta, khususnya pakta HAM, pada dasarnya bersifat sukarela. Hingga saat ini, tidak satupun negara pernah dipaksa untuk meratifikasi suatu pakta HAM, termasuk untuk meratifikasi Konvensi Hak Anak.
Begitulah ketika Republik Indonesia meratifikasi KHA pada 1990 yang lampau, melalui Surat Keputusan Presiden (No. 36/1990, tanggal 25 Agustus 1990).
Konsekuensi meratifikasi KHA.
Sebagaimana tersirat dalam penjelasan terdahulu, meratifikasi suatu pakta HAM berarti menyepakati untuk menerima berbagai kewajiban. Dalam konteks KHA, yang cakupannya meliputi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, kewajiban-kewajiban negara menjadi sangat luas dimensinya.
Antara lain, Negara harus memenuhi hak-hak sipil yang bersifat guaranted, sekaligus harus menjamin pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang bersifat recognized. Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari pengakuan terhadap hak-hak sipil anak, Negara juga tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mengintervensi beberapa hak yang bersifat negatif.
Berpegang pada naskah Konvensi, beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara, antara lain ialah:
KHA — Pengalaman di Indonesia
Selama hampir 9 (sembilan) tahun sejak RI meratifikasi KHA, dan KHA diberlakukan di Indonesia. Hanya sedikit—kalaupun ada—perkembangan positif yang bisa dicatat sehubungan dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak-yang-berada di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Banyak hal, yang bahkan sejak awalnya, tidak terlalu menunjukkan komitmen serius Negara untuk memenuhi, bahkan mengakui hak-hak anak. Berikut adalah hal-hal utama yang perlu diketengahkan dalam kesempatan ini:
Cacat yuridis instrumen ratifikasi KHA.
Di atas telah disampaikan bahwa ratifikasi KHA oleh Republik Indonesia dilakukan dengan Keputusan Presiden (No. 36/1990 tanggal 25 Agustus 1990). Instrumen ratifikasi yang berupa Keppres ini, mengandung cacat hukum karena ia, berdasarkan hirarkhi perundangan yang berlaku, memblokir ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban legislatif. Tidak mungkin melakukan amandemen pada UU yang ada agar sesuai dengan KHA, atau membuat rancangan UU baru untuk mengektifkan KHA, berdasarkan pakta yang secara domestik mempunyai hirarkhi 4 level di bawahnya.
Hingga detik ini, instrumen ratifikasi KHA yang berupa Keppres ini belum diubah, dan bahkan tidak direncanakan untuk ditingkatkan statusnya di dalam Agenda Nasional HAM yang dirumuskan baru-baru ini menyusul era Reformasi yang dimulai bulan Mei tahun lalu.
Status “Reservasi” yang dikenakan pada KHA.
Pada waktu meratifikasi KHA, Pemerintah RI menyampaikan apa yang oleh pemerintah disebut sebagai “Deklarasi” (dan sampai beberapa waktu yang lalu oleh beberapa pejabat pemerintaha masih secara ngotot dipaksakan sebagai “deklarasi”), namun yang oleh pihak manapun di seluruh dunia diklasifikasikan sebagai “Reservasi”.
Bunyi selengkapnya dari apa yang disebut oleh Pemerintah RI sebagai “deklarasi” itu ialah sebagai berikut:
The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees the fundamental rights of the child irrespective of its sex, ethnic origin or race. The Constitution prescribes those rights to be implemented by national laws and regulations.
The ratification of the Convention on the Rights of the Child by the Republic of Indonesia does not imply the acceptance of obligations going beyond the constitutional limits nor the acceptance of any obligation to introduce any right beyond those prescribed under the Constitution.
With reference to the provisions of articles 1, 14, 16, 19, 21, 22, and 29 of the Convention, the Government of the Republic of Indonesia declares that it will apply these articles in conformity with its Constitution.
UUD Republik Indonesia 1945 menjamin hak-hak dasar anak tanpa membedakan jenis kelamin, asal-usul etnik atau ras anak. Konstitusi menyatakan agar hak-hak tersebut dilaksanakan melalui perundangan dan peraturan nasional.
Ratifikasi Konvensi Hak Anak oleh Republik Indonesia tidak mengandung konsekuensi penerimaan terhadap kewajiban yang melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh UUD (1945) ataupun penerimaan kewajiban untuk memperkenalkan hak apapun di luar dari apa yang telah dirumuskan dalam UUD.
Sehubungan dengan ketentuan pasal 1, 14, 16, 19, 21, 22, and 29 Konvensi, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan akan menerapkan pasal-pasal ini sejalan dengan UUD (1945)
Alinea pertama dari “deklarasi” di atas nampak memang bisa diklasifikasikan sebagai deklarasi walaupun, dalam hubungan dengan ratifikasi suatu instrumen internasional, sangat sulit untuk memahami relevansinya.
Alinea kedua, jelas merupakan reservasi. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Bruce Abramson, itu adalah reservasi sapu-jagad (sweeping reservaton). Dengan alinea kedua tersebut, pemerintah Republik Indonesia sebenarnya mengatakan bahwa “kami menyepakati KHA, namun kami tidak menyepakati isinya”.
Alinea ketiga, nyata merupakan suatu reservasi. Seperti dikatakan oleh Abramson, “walapun tidak jelas alasannya mengapa Indonesia perlu merinci lagi secara spesifik pasal-pasal tertentu untuk direservasi setelah pada alinea sebelumnya Indonesia praktis sudah mereservasi keseluruhan Konvensi”.
Komite Hak Anak PBB, dalam “concluding observations” atas laporan Indonesia (lihat di bawah nanti), pada akhir 1994 mencatat adanya “penarikan” oleh Indonesia atas beberapa reservasi—yang dirinci dalam alinea ketiga di atas—dan menyisakan hanya pasal 17 (akses informasi), 21 (adopsi) dan 22 (pengungsi anak) yang masih belum jelas statusnya.
Sementara itu, beberapa sumber (nasional maupun internasional) juga mengkonfirmasi pencabutan seperti. Namun begitu, tak satupun sumber kunci yang bisa menunjukkan bukti otentik yang bisa mendukung klaim lisan para pejabat pemerintah RI mengenai pencabutan sebagian besar reservasi ini. Sementara itu, hingga saat ini tak satupun sumber resmi yang mempersoalkan status reservasi yang terdapat pada alinea kedua di atas.
Assessment Komite Hak Anak PBB menyangkut kewajiban Indonesia di bawah KHA.
Berdasar Pasal 44 (ayat 1) KHA, setiap Negara Peserta wajib memberikan laporan mengenai perkembangan langkah-langkah yang ditempuh oleh pihak Negara dan mengenai perkembangan situasi hak anak, kepada Komite Hak Anak PBB: (a) dalam waktu 2 tahun setelah ratifikasi; (b) selanjutnya setiap 5 tahun sekali.
Republik Indonesia telah memberikan laporan dimaksud sesuai pasal 44:1 (a), se”tebal” 20 halaman, pada akhir 1992. Sayangnya, Indonesia belum menyerahkan laporan periodik (sesuai pasal 44:1 (b)) yang seharusnya sudah diserahkan menjelang akhir tahun 1997 lalu.
Dengan demikian, pada saat ini kita hanya bisa melihat hasil evaluasi Komite Hak Anak atas laporan perdana RI yang “jatuh tempo” tahun 1992. Hal-hal pokok yang perlu diketengahkan dalam kesempatan ini dari “Concluding Observation” Komite atas laporan Indonesia (UN Document: CRC/C/15/Add.25, 24 Oktober 1994), ialah sebagai berikut
Pertama, ada tidak butir aspek positif yang dicatat oleh Komite, yakni:
Kedua, ada sebelas butir kepedulian, yakni:
Perlu diingat, bahwa ke semua butir baik yang mengenai aspek positif maupun yang mengenai pokok kepedulian yang dirumuskan oleh Komite tersebut di atas, didasarkan terutama pada laporan yang dibuat oleh Pemerintah.
Me-review relevansi “concluding observations” Komite.
Kini, hampir 5 tahun setelah Komite Hak Anak PBB merumuskan “concluding observations” atas laporan Indonesia, kalau kita lihat kembali, tentunya banyak kalangan independen akan sependapat bahwa dokumen tersebut masih sangat relevan.
Penulis sendiri mencatat, dalam kurun 9 tahun sejak ratifikasi KHA oleh Indonesia. hanya sekali seorang pejabat publik pernah menyatakan secara eksplisit kaitan antara suatu program yang dicanangkan dengan kewajiban RI di bawah KHA, yakni pada waktu presiden waktu itu mencanangkan “Gerakan Nasional Perlindungan Anak” pada tahun 1997 lalu.
Penutup
“Cara masyarakat memperlakukan anak-anak mencerminkan tidak hanya rasa kasih sayang dan pola asuhnya saja, namun juga rasa keadilannya, komitmennya pada masa depan dan kepeduliannya untuk meningkatkan kualitas manusia bagi generasi mendatang” (Javier Perez de Cuellar, Sek-Jen PBB, 1987)
Yogyakarta, Juni 1999.
* Pokok-pokok pikiran disiapkan untuk Seminar “Kekerasan Negara terhadap Anak”, diselenggarakan oleh BKBH Fakultas Hukum UMS bekerjasama dengan Yayasan KAKAK-Surakarta, Surakarta, 29 Juni 1999.